Jumat, 16 April 2010

Membaca Cerpen Massa Indonesia


JONI Ariadinata (JA), salah satu cerpenis terkemuka menulis Yogyakarta dan Barometer Cerita Pendek Indonesia (Kedaulatan Rakyat/KR, Minggu 14 Juli 2002). Dalam tulisannya itu JA mengungkap sikap dan pandangan pribadinya: haru mendalam sekaligus secercah harapannya pada kondisi mutakhir bangsa dan cerita pendek Indonesia. Tak hanya sampai di situ. JA pun berusaha meneropong lebih jauh dengan cara pandang sangat makro-general dan menganalisisnya dengan nalar argumentasi sangat lurus sehingga kedua kondisi itu sungguh-sungguh tampak berkorelasi positif-signifikan.

JA tampak tak sekadar ingin keluh-kesah di situ, asal berharap atau malah berangan muluk saat mengalami dan menyikapi kondisi mutakhir bangsa dan cerita pendek Indonesia. Sebagai seniman sikap JA patut diapresiasi: ia tak suntuk dalam kerja kreatif individualnya belaka, ia juga peduli terhadap perkara-perkara besar di luar dirinya dan berusaha melakukan semacam dialektika terhadapnya, juga semacam solusi nyata. Sikap itu adalah sikap seniman yang tak ''egois'', produktif bagi banyak pihak.

Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) adalah jawaban nyata kerjanya atas semua haru dan harapannya itu. Menurutnya JCI bisa jadi bagian penting dari sebuah solusi fundamental di antara solusi-solusi lain yang sangat urgen bagi bangsanya: melek baca melalui tradisi teks sastra - sebuah tradisi teks yang ''canggih'' yang telah jadi standar kebudayaan bangsa yang besar. Kerja nyata Joni itu objektif dan strategis - meski belum benar-benar hebat - di tengah kerusakan multidimensional yang menghantam bangsa Indonesia. Kondisi produk sosial, politik, ekonomi Indonesia sama sekali tak bisa dibanggakan dan diandal-andalkan di mata bangsa sendiri apalagi bangsa lain, tapi berbagai produk artistik bangsa Indonesia justru menampakkan eksistensinya (dalam berbagai kadar kualitas) di tengah kerusakan multidimensional itu. Cerpen adalah salah satu produk artistik yang bisa ''dibanggakan'' eksistensinya.

Bahaya Cerpen Massa

Saya sudah membaca ratusan bahkan mungkin ribuan cerpen di lembaran media massa koran, majalah, tabloid, jurnal, dan buku. Produksi teks yang dahsyat itu rutin berbondong-bondong mendatangi massa dengan cara membonceng industri media massa itu, meski tampak marginal dari porsi ruang, konsistensi kehadirannya tampak istimewa, bandel, dan mengeras di tengah dominasi riuhnya berita, gosip dan iklan.

Teks-teks cerpen itu juga tampak ingin menampakkan sejumlah pose dengan usaha (saya meminjam frasa-frasa statemen JA) ''eksplorasi bahasa, penjelajahan tema, dan keberanian eksperimentasi''. Tak sekadar hadir, tak cuma sebuah cerita. Sejauh mana usaha-usaha itu terbukti JA tak menyebut contoh cerpenis dan karyanya untuk melengkapkan statemennya itu. Statemennya itu tak memberikan semacam info apresiatif kepada publik cerpen secara genah. Mung-kin, itu tugas kritikus, dan JA adalah kreator.

Dalam pengamatan, cerpen di media massa ada yang sangat menarik dan ba-nyak juga yang menyebalkan dengan perbandingan jumlah yang sangat njomplang. Di tengah ramainya produksi cerpen itu memang semakin tak mudah mencipta sesuatu yang ''berbeda'', berbagai kemungkinan bentuk dan ide seolah sudah dilakukan orang lain, akhirnya fenomena interteks dan bahkan reproduksi sulit dihindarkan. Lalu muncul semacam ''cerpen massa'', cerpen yang kehilangan kepribadian.

Banyak cerpenis cenderung menjadi ''mesin'' yang memenuhi kebutuhan media massa, membuatnya kehilangan otoritas kreasi yang khas, yang berpribadi, dan orisinalitasnya nyungsep dalam tuntutan industrial yang cepat dan massal. Dibutuhkan ketekunan dan ''kegilaan'' untuk melawan kecenderungan itu, lewat studi, diskusi, dan mungkin juga proses kreatif pribadi yang sakit, tak lazim, semacam Dostoyevski melakoni kepahitan dan kesakitan nyata yang diolah untuk novel-novelnya. Intinya totalitas penciptaan. Atau kekuatan observasi semacam Rudyard Kippling.

Saya percaya pertumbuhan kuantitas cerpen Indonesia mutakhir berbanding lurus dengan pertumbuhan industri media massa cetak. Spirit industrial menjadi demikian intim bagi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir. Istilah ''Cerpen Ko-ran'' tak terlalu meleset dan memiliki dasar dan argumen historis tak tersangkal. Dan ini tak sepenuhnya sesuatu yang berbahaya selama tenaga kreatif tak diperbudak oleh tuntutan arus industri media massa itu. Arus kreatif yang harusnya berpribadi akan pecah menjadi arus massa bila dorongan penciptaan berada dalam agenda rutin-massal industri media massa. Ada beberapa penulis cerpen koran yang mampu menunjukkan kualitas yang khas juga di antara kerumunan penulis dan cerpennya yang terbelakang.

JCI sebagai sebuah media baru pasti mengasumsikan semacam eksperimentasi, sebuah usaha untuk membangun atmosfir lain, tapi sampai saat ini memang belum muncul bentuk dan ide kreatifnya yang khas sebab para penulisnya masih mewarisi ''ideologi'' cerpen koran, sebuah ide penulis-an yang berpihak pada sesuatu yang bersifat massal. Perjalanan ke depan masih terlalu panjang. Sebagai sebentuk usaha patut dihargai tanpa harus merasa tak perlu lagi mengapresiasi cerpen yang ada di medium lain. Tak bersikap eksklusif. Medium bukan ukuran kualitas cerpen. Ukuran kualitas adalah karya, teks. (q-k)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar